Potensi sampah dan biomassa sudah pasti ada di setiap daerah, karena setiap hari manusia secara natural selalu menghasilkan sampah demi memenuhi kebutuhannya. Namun memang, potensi sampah dan biomassa di setiap daerah berbeda sebanding dengan jumlah penduduknya. Makin banyak jumlah penduduk di setiap daerah, potensi sampah dan biomassa yang dihasilkan makin besar pula. Solusi yang diberikan oleh pemerintah daerah adalah landfill yaitu pembuangan sampah di suatu daerah yang disebut dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) serta pengolahan yang dilakukan secara ‘tidak efisien’. Dikatakan demikian karena sampah – sampah organik dikumpulkan di TPA dan diharapkan terdegenerasi kembali ke tanah secara alami sedangkan sampah anorganik dikumpulkan lagi – lagi secara tidak efisien oleh pemulung. Kekurangan dari landfill ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas dan menggunungnya sampah organik karena penambahan sampah oleh manusia tidak sebanding dengan degenerasi sampah oleh bakteri – bakteri pengurai. Selain itu berkaitan dengan global warming, penumpukan sampah dengan cara ini berpotensi menghasilkan gas methan (combustible gas) yang notabene menjadi salah satu penyebab potensi pemanasan global dan penipisan lapisan ozon.
Manajemen Pengelolaan SampahMasalah sampah sudah menjadi masalah global, dibuktikan oleh keluarnya protokol Kyoto yang mengikat semua negara agar dapat mengolah limbahnya dengan lebih serius. Pemerintah Indonesia setidaknya telah mengedarkan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan dimungkinkan untuk adanya Peraturan Perundangan lain yang dapat melengkapi Undang – Undang ini. Ini menjadi bukti keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengelola sampah dan sebagai langkah penting pemerintah dalam pembangunan lingkungan hidup yang lebih baik dengan diikuti oleh penerapan di lapangan yang tertib, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Tinggal bagaimana regulasi manajemen pengelolaan sampah yang berupa Undang – Undang ini diterapkan di lapangan oleh seluruh aparat yang berkaitan dan masyarakat secara keseluruhan. Regulasi pendukung seperti peraturan daerah dan pelaksanaan kompensasi secara tertib juga sangat penting dalam kaitannya dengan penerapan di tingkat daerah. Tanpa Peraturan Daerah dan pelaksanaan kompensasi secara tertib, tidak akan ada regulasi yang mengikat masyarakat, sehingga masyarakat merasa perlu untuk melakukan manajemen pengelolaan sampah ini dalam lingkup rumah tangga maupun lingkup yang lebih luas.
Dengan manajemen sampah, TPA bukan lagi menjadi tempat penampungan sampah melainkan akan menjadi tempat penampungan residu sampah yaitu sampah – sampah khusus yang karena sifat dan bahannya tidak bisa didaur ulang lagi, sampah organik, maupun sampah anorganik yang tidak bisa di daur ulang karena nilai ekonomisnya sangat rendah dan sulit untuk dimanfaatkan. Untuk sampah – sampah khusus dibutuhkan teknologi tertentu untuk mengelolanya, sedangkan sampah organik dan anorganik yang ditampung sebenarnya memiliki potensi energi di dalamnya dengan penanganan tertentu. Teknologi yang kemudian ditawarkan untuk mengolah potensi ini adalah teknologi konversi energi.
Konversi BiogasSampah organik (termasuk didalamnya sisa makanan) dapat dikonversi menjadi listrik dengan menggunakan teknologi konversi sampah menjadi gas methan (combustible gas), lalu menjadi listrik yang disebut dengan biogas. Sedangkan sampah organik yang berupa biomassa dapat dikonversikan menjadi listrik dengan cara direct combustion yang dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah).
Secara alami, sampah organik dengan bantuan bakteri pengurai menghasilkan gas methan sebagai hasil sampingan dari kegiatan degenerasi penguraian sampah. Gas methan (combustible gas) ini menurut para peneliti, jika terbuang di alam berpotensi sebagai perusak lapisan ozon dan meningkatkan efek global warming. Untuk itulah menjadi penting pemanfaatan gas methan menjadi listrik karena selain dapat mengurangi dampak pemanasan global, juga dapat menambah suplai listrik di daerah. Secara umum, unsur dalam sampah yang dapat dimanfaatkan menjadi biogas adalah sebesar 69% yaitu 42% sampah organik dan 27% sampah sisa makanan (Mauliva,2009). Untuk mempercepat terjadinya biogas dalam proses fermentasi sampah organik, biasanya digunakan katalisator berupa penambahan bakteri pengurai sampah yaitu bakteri saprofit (wikipedia). Teknologi konversi biogas menjadi listrik yang digunakan misalnya adalah PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap) yang bekerja berdasar siklus kombinasi (siklus Rankine dan Brayton) yang merupakan sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan sejumlah panas terbuang (exhaust gas) di turbin gas PLTG yang temperaturnya relatif tinggi untuk menghasilkan uap pada turbin uap (Rais,2006). Namun, teknologi konversi biogas ini masih terkendala terhadap isu ketahanan dan keawetan material yang digunakan karena biogas yang salah satu komposisinya adalah H2S (hidrogen sulfida) mengakibatkan bahan yang dilewatinya rentan terhadap korosi. Sehingga diperlukannya inovasi rekayasa teknologi material yang dapat berperan meningkatkan kekuatan material yang digunakan.
Dalam pengolahan sampah menjadi biogas, manajemen sampah dalam bentuk pemilahan sampah dari tingkat rumah tangga sampai ke tingkat landfill menjadi sangat penting karena dengan manajemen yang baik, pengolahan sampah menjadi lebih fokus dan tertata secara efektif serta mempermudah pengambilan bahan untuk biogas yang berupa sampah residu (sampah organik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar